ChatGPT dan Ancaman Bagi Jurnalisme

ChatGPT viral beberapa waktu lalu. Di TikTok, Instagram hingga Youtube. ChatGPT adalah robot Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) besutan OpenAI. Sebuah perusahaan yang didirikan oleh Sam Altman, Elon Musk dan juga didukung Microsoft. 

Chatbot OpenAI

ChatGPT tidak seperti Google Pencarian (Google Search) yang memberikan daftar situs web saat kata kunci diterapkan. Cara kerja ChatGPT sama seperti melakukan chating dengan orang lain. Saat ditanya ia menjawab. Tinggal tuliskan apa yang kita ingin tanyakan atau perintahkan, lalu ia akan menjawab dengan cepat. Jika ia tak tahu jawabannya, maka dia akan meminta maaf. Jika, kita berucap terimakasih, maka ia akan menawarkan kembali apa yang ingin kita tanyakan. Luar biasa kan?

Dulu, kita sudah terkagum-kagum dengan Asisten Google yang mudah diperintahkan. Pengguna ponsel pintar (smartphone) bisa dengan mudah memerintahkan Asisten Google untuk melakukan sesuatu hanya dengan perintah suara. Ternyata, kecerdasan Asisten Google belum seberapa. ChatGPT benar-benar mengalihkan perhatian dunia dengan kemampuannya.

ChatGPT memang belum sempurna. Masih ada banyak kesalahan jawaban. Di situs ChatGPT disebutkan, data yang dimiliki ChatGPT hanya sampai tahun 2021. Tapi, bukan berarti semua kejadian di tahun setelah 2021 ia tak mampu menjawab. Terkadang bisa.

Saat ini ChatGPT adalah ancaman bagi karya tulis dan jurnalisme original. Pasalnya, ChatGPT sudah pernah digunakan untuk pembuatan karya tulis sejumlah mahasiswa di Amerika Serikat, Prancis dan negara lainnya. Akhirnya, ChatGPT dipandang meresahkan oleh universitas. Larangan penggunaan ChatGPT pun didengungkan universitas di AS dan Prancis.

Amazon sempat ikut-ikutan melarang penggunaan ChatGPT bagi penulis yang menjual karyanya di marketplace tersebut. Namun belakangan Amazon justru menjual e-Book yang sepenuhnya ditulis oleh AI. Wow! 

Nah, gegara ChatGPT ini, universitas dan peneliti di AS sedang mengembangkan AI yang bertugas mendeteksi karya chatbot. Namanya DetectGPT. Sepertinya akan terjadi perang AI melawan AI.

Lalu, apa pengaruhnya dengan masa depan jurnalisme? Tentu saja gawat. ChatGPT bisa saja mematikan kreativitas jurnalis, penulis dan blogger. Bahkan, saya sendiri pernah menggunakan layanan ChatGPT untuk mengisi konten blog. Parahnya, berdasarkan percbaan yang saya lakukan, ada sejumlah tulisan ChatGPT  terdeteksi sebagai karya original 100% berdasarkan penelusuran 1Text.com. 

1Text.com adalah situs buatan Rusia yang biasa saya gunakan untuk cek plagiarisme. Dibanding situs serupa, 1Text.com paling ampuh untuk pengecekan antiplagiat. Setidaknya menurut pandangan subjektif saya. 

Setelah menerapkan itu, saya lalu berpikir. Ini baru permulaan. Kedepan jurnalis atau wartawan dan penulis artikel benar-benar tidak dibutuhkan lagi. Semuanya akan tergantikan oleh robot AI atau chatbot. Apalagi kemampuan ChatGPT terus dikembangkan dan disempurnakan agar mampu menjawab dengan semakin natural. 

Terkini, Google juga akan meluncurkan Bard Google. Chatbot AI yang akan bersaing dengan ChatGPT. Begitu juga dengan Meta, perusahaan induk Facebook ini juga mau bersaing di teknologi AI. Bahkan, Tiongkok yang memblokir ChatGPT pun ikut-ikutan mengembangkan chatbot pengganti ChatGPT di negara tersebut. 

Persaingan AI ini, akan semakin memperburuk kreativitas penulis (wartawan, penulis lepas, blogger). Semakin perusahaan pengembang AI ini bersaing, maka semakin baik pula layanan mereka. Dan semakin nyata pula ancaman kehancuran jurnalisme original.

Singkat berpikirnya begini. buat apa perusahaan pers membayar penulis, chatbot bisa membuat artikel lebih baik dan tanpa kesalahan ejaan. Tata bahasanya juga bagus. Chatbot juga mengerjakan tugasnya hanya dalam tempo singkat.

Lalu, apa benar wartawan nantinya tidak dibutuhkan lagi? Hemm..... saya mulai berpikir lagi. Tampaknya tidak. Masih ada ruang bagi jurnalis. AI tidak memiliki kemampuan meliput kejadian. AI juga tidak bisa mewawancarai seseorang atau membuat janji bertemu melakukan wawancara. Keterbatasan AI itu, tetap membuat keberadaan wartawan tetap dibutuhkan. 

Namun, jika sesuatu hal disampaikan secara langsung (live) di televisi atau kanal media sosial, maka AI masih bisa membuat laporannya. Bahkan, sudah ada teknologi AI yang mampu mempublikasikan laporannya sendiri di situs web berita. Duh.... kalau begini admin situs berita tidak ada kerjaan lagi.

Kehadiran AI memang kontroversial. Tidak hanya mengancam dunia jurnalistik, namun juga dunia akademik. Teknologi yang memanjakan ini akan secara perlahan mempersempit terbitkan karya original.


Tulisan ini juga diterbitkan di Progres.id

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan santun dan bijak. Ayo jadi warganet cerdas.

Lebih baru Lebih lama