SISITERANG.ID - Indonesia memiliki sejarah panjang di bawah penjajahan Belanda selama lebih dari 300 tahun. Meskipun demikian, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa nasional atau bahasa yang dominan di negara ini. 

Sebaliknya, Indonesia memilih bahasa Melayu – yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia – sebagai bahasa persatuan. Fenomena ini menarik perhatian banyak peneliti, termasuk Dr. Benedict Anderson, yang memberikan analisis mendalam mengenai hubungan kolonialisme, bahasa, dan identitas nasional.

Peta Indonesia (Pixabay)

Alasan Utama Bahasa Belanda Tidak Dominan di Indonesia

1. Eksklusivitas Bahasa Belanda

Selama masa kolonial, bahasa Belanda tidak diajarkan secara luas kepada masyarakat pribumi. Bahasa ini hanya digunakan oleh segelintir elite, seperti pegawai pemerintah, pengusaha, dan kalangan bangsawan yang memiliki akses ke pendidikan formal di bawah sistem kolonial. Mayoritas rakyat Indonesia tetap menggunakan bahasa daerah atau bahasa Melayu untuk komunikasi sehari-hari.

2. Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca

Sebelum kolonialisme Belanda, bahasa Melayu telah digunakan secara luas sebagai lingua franca di Nusantara. Bahasa ini digunakan untuk perdagangan, diplomasi, dan komunikasi antar-etnis. Oleh karena itu, bahasa Melayu memiliki akar yang kuat di masyarakat dan lebih mudah diterima sebagai bahasa persatuan.

3. Strategi Politik Kolonial

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis dengan batasan tertentu, yang salah satunya adalah mencegah penyebaran luas bahasa Belanda. Mereka tidak ingin pribumi memiliki akses ke pendidikan tinggi dan kemampuan bahasa yang sama dengan penjajah, karena hal ini dianggap dapat mengancam kekuasaan kolonial.

4. Gerakan Kebangsaan

Saat gerakan nasionalisme Indonesia mulai berkembang pada awal abad ke-20, para pemimpin pergerakan memilih bahasa Melayu – yang mudah dipahami oleh berbagai suku di Indonesia – untuk memperkuat semangat persatuan melawan penjajahan. Bahasa Belanda, sebagai bahasa penjajah, tidak dianggap cocok untuk simbol kebangsaan.

5. Pandangan Dr. Benedict Anderson

Dr. Benedict Anderson, seorang ahli wawasan Indonesia dan Asia Tenggara, menggarisbawahi pentingnya peran bahasa dalam pembentukan identitas nasional. Dalam bukunya Imagined Communities, Anderson berpendapat bahwa bahasa Melayu (yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia) dipilih karena sifatnya yang inklusif dan fleksibel. Bahasa Melayu tidak terikat pada etnis atau golongan tertentu, sehingga mampu menjadi alat komunikasi lintas budaya yang efektif.

Menurut Anderson, keputusan untuk tidak mengadopsi bahasa Belanda sebagai bahasa nasional menunjukkan bahwa Indonesia ingin mendefinisikan dirinya secara independen dari warisan kolonial. Ia juga menyebutkan bahwa bahasa Belanda memiliki keterbatasan fungsi di Indonesia karena tidak pernah menjadi alat komunikasi massal.

Peran R.A. Kartini dalam Penggunaan Bahasa Lokal

R.A. Kartini, seorang tokoh emansipasi perempuan di era kolonial, memainkan peran penting dalam memperkuat kesadaran tentang identitas lokal. Kartini dikenal karena tulisannya dalam bahasa Belanda yang mengungkapkan keprihatinannya tentang ketimpangan sosial dan perlunya pendidikan bagi perempuan pribumi.

Namun, meskipun Kartini menulis dalam bahasa Belanda, ia juga mendorong pendidikan dan literasi dalam bahasa lokal. Pandangannya tentang pentingnya pendidikan bagi rakyat jelata menjadi salah satu pendorong utama untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, termasuk penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.

Bahasa Indonesia sebagai Simbol Persatuan

Pada Kongres Pemuda II tahun 1928, para pemimpin pergerakan nasional secara resmi menetapkan bahasa Melayu yang sudah dimodifikasi menjadi Bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda. Pilihan ini mencerminkan semangat persatuan di antara ratusan suku di Indonesia.

Bahasa Indonesia kemudian terus berkembang sebagai bahasa resmi negara setelah kemerdekaan, menggantikan bahasa Belanda yang terbatas pada kalangan elite. Hingga kini, Bahasa Indonesia menjadi simbol persatuan dan identitas nasional yang membedakan Indonesia dari masa penjajahannya.

Akhir Kata

Pilihan Indonesia untuk tidak menggunakan bahasa Belanda, meskipun berada di bawah kolonialisme selama ratusan tahun, adalah refleksi dari semangat nasionalisme dan keinginan untuk menciptakan identitas yang bebas dari pengaruh kolonial. Dengan memanfaatkan bahasa Melayu yang inklusif, Indonesia berhasil menyatukan berbagai suku dan budaya dalam sebuah bangsa yang berdaulat.

Pendapat Dr. Benedict Anderson dan pengaruh tokoh seperti R.A. Kartini menunjukkan bahwa bahasa memiliki peran vital dalam menciptakan kesadaran nasional, sekaligus sebagai alat perjuangan melawan penjajahan. Warisan tersebut terus hidup dalam Bahasa Indonesia, yang hingga kini menjadi salah satu pilar utama identitas bangsa.